top of page
Post: Blog2_Post
Gambar penulisIMSA Operational

Di Ujung Penantian

Juara 1 Naskah Lomba Menulis (Category 15yo and up): Budi Setiadi


Aku menjumpainya ketika dia sedang duduk seorang diri di bangku taman Central Park, New York, tidak jauh dari Delacorte Clock dekat Central Park Zoo. Pada suatu pagi yang cerah di bulan September beberapa tahun yang lalu. Paras melayunya tampak menonjol di antara wajah-wajah bule yang sedang bersantai di taman kala itu. Aku perkirakan usianya sekitar 70an, mungkin juga lebih. Meskipun sudah berumur, aku masih bisa melihat gurat-gurat ketampanan masa muda pada wajahnya. Pakaiannya rapi dengan warna kemeja dan celana panjang yang berpadu serasi membalut kulitnya yang cenderung putih untuk ukuran orang Indonesia. Wait? Apa benar dia orang Indonesia?


“Apa kabar? Maaf, bapak dari Indonesia?”, tanyaku sambil tersenyum.


Bapak tua itu menoleh ke arahku sambil meletakkan buku yang sedang dibacanya di pangkuannya.


“Iya benar, maaf apakah bung utusan dari Pak Bimo?”, tanyanya penuh selidik sambil melihat ke jam tangannya.


“Pak Bimo?”, jawabku agak heran, “Bukan Pak, saya Ahmad yang kebetulan sedang jogging disini.”


“Oh maaf, Bung Ahmad”, ujarnya sambil tersenyum. Dia tampak berusaha menyembunyikan kekecewaannya, “Aku sangka bung ini koleganya Pak Bimo.”


“Wah, pagi-pagi bapak sudah rapi, sering datang ke Central Park ini, Pak?” tanyaku berusaha memutus kebuntuan.


“Ndak sering, sesekali saja”, jawabnya sambil mempersilahkanku duduk disampingnya.


Setelah basa-basi layaknya orang Indonesia, kamipun saling bertukar cerita. Walapun ramah khas wong jowo tapi sikapnya cenderung formal, demikian juga dengan tutur katanya. Aku tertarik dengan sapaannya, “Bung Ahmad”. Rasanya sudah jarang yang bicara seperti itu sekarang. Kebetulan hari itu aku sedang punya banyak waktu, dan rasa ingin tahuku mendesakku untuk menggali ceritanya lebih jauh.


***

Namanya Farid Wiryosarjono, asal Purbalingga, Jawa Tengah. Kisah hidupnya tergolong unik dan cukup tragis pada sebagiannya. Pada tahun 1963, beliau ikut program beasiswa pemerintah untuk belajar teknik listrik ke Rumania. Saat itu rezim orde lama Bung Karno memang mengirim ribuan mahasiswa Indonesia untuk belajar ke luar negeri, terutama ke Rusia dan negara-negara Eropa Timur. Nama programnya MAHID (Mahasiswa Ikatan Dinas) dimana setelah lulus mereka harus pulang ke tanah air.


Tahun 1965 meletus peristiwa G30S PKI dan tak lama setelah itu rezim Sukarno pun tumbang digantikan Orde Baru. Prioritas utama rezim saat itu adalah pembersihan unsur-unsur komunis, termasuk mereka yang mendukung Sukarno dan rezim Orde Lamanya. Para mahasiswa yang sedang belajar diluar negeri saat itu dipanggil ke konsulat Indonesia di negara tempat mereka sekolah. Mereka kemudian disodori surat pernyataan mendukung Orde Baru dan mengecam Orde Lama. Dan diminta tanda-tangan. Siapa yang menolak akan dicap sebagai pendukung Orde Lama bahkan dicap sebagai komunis. Farid muda salah satunya.


“Kenapa Pak Farid tidak tanda tangan saja, kan beres?”, tanyaku ingin tahu


“Kita ini, bung, cuma mahasiswa. Tugas kita belajar kemudian pulang mengabdi untuk bangsa. Kita tidak ikut campur masalah politik. Kok, tiba-tiba kami dibawa ke pusaran politik, diminta tanda tangan surat dukungan?”, jawabnya dengan nada agak memuncak.


“Lagipula komunikasi saat itu masih susah, berita dari tanah air sangat sedikit dan lama baru sampai. Itupun ndak jelas dan simpang siur. Yang kami baca dari koran-koran lokal di Bukares, justru banyak terjadi pembunuhan dan ketidakadilan. Entah benar atau tidak, tapi sebagai mahasiswa idealis yang masih peduli, kami ingin melihat dulu kejelasannya. Jadi kalau tiba-tiba kami diminta mendukung suatu rezim, ya nanti dulu!”.


Pak Farid menghela nafas kemudian melanjutkan ceritanya,


“Karena kami menolak tanda-tangan, mereka tuduh kami antek komunis. Lha, komunis darimana? Aku ini anggota HMI, anak santri, ayahku penghulu agama dikampungnya”, tukasnya.


“Kemudian apa yang terjadi, Pak?”, tanyaku ingin tahu.


“Mereka mencabut kewarganegaraan kami. Aku tidak bisa pulang ke kampung halamanku”, jawabnya sambil menghela nafas kembali. “Ketika bapak wafat kemudian disusul ibu, aku hanya bisa mendoakan dari jauh. Bung bisa bayangkan”, nada suaranya mulai melandai tidak lagi meledak-ledak. Aku menangkap kesedihan di ujung matanya yang mulai membasah.


***

Pak Farid kemudian menghabiskan hidupnya di negeri orang tanpa bisa menginjakkan kaki di tanah air yang dicintainya. Beruntung dia mendapatkan suaka politik di Rumania, bahkan beroleh kewarganegaraan baru disana. Berbekal ilmu yang didapatnya semasa kuliah, Farid muda bisa mendapat pekerjaan kemudian menikah dengan teman kerjanya, Elena, yang asli Rumania, dan mereka beranak-pinak.


“Bagaimanapun juga, Rumania itu negeri komunis. Masalah agama itu urusan kesekian bahkan diabaikan. Sulit bagiku membangun keluarga muslim seperti yang selalu diwanti-wanti bapak. Alhamdulillah, Elena mau masuk Islam tapi aku selalu khawatir dengan masa depan anak-anak. Ini bukan hidup yang aku rencanakan”, tuturnya bernostalgia. Tatapannya kosong. Matanya tertuju pada keluarga kecil yang sedang bermain di padang rumput seberang sana, tapi aku tahu pikirannya jauh menerawang ke Bukares tahun 70an.


“Gusti Allah ora sare. Komunis bertumbangan di Eropa Timur. Ketika Ceaușescu jatuh, kami mencari suaka ke Amerika dan menetap di New York,” lanjutnya kemudian.


Awal dekade 90an, rezim komunis mulai berjatuhan di Rusia dan negara-negara satelitnya di Eropa Timur. Bulan Desember 1989, Nicolae Ceaușescu, pemimpin Rumania yang diktator itu akhirnya tumbang. Pak Farid dan keluarga memutuskan untuk berimigrasi ke Amerika dengan membawa mimpi.


***

American Dream. Seperti juga Pak Farid, banyak keluarga muda datang ke Amerika dengan membawa mimpi kehidupan yang lebih baik. Mereka pekerja keras, hemat, dan disiplin. Tak heran banyak yang berhasil tapi ini keberhasilan yang semu. Kehidupan spiritual mereka tertinggal jauh dibanding kemajuan ekonominya. Seperti di Rumania, hidup di Amerika rupanya membawa masalahnya sendiri bagi Pak Farid dan keluarganya.

Beliau kemudian melanjutkan ceritanya:


“Banyak dari kami, para imigran, yang mengalami lost generation. Kalau aku lihat, sebenarnya ada tiga periode. Pertama, periode kami para orang tua yang masih membawa budaya leluhur. Sayang, kesibukan kami bekerja membuat kami lengah untuk mendidik anak-anak kami. Mereka menjadi lost generation. Ini periode kedua. Nah, setelah anak-anak itu kemudian menikah dan memiliki anak, mereka mengalami kekeringan spiritual. Banyak dari mereka yang sadar dan tidak ingin anak-anak mereka mengalami hal yang sama. Maka mereka kemudian mengirim anak-anaknya ke masjid untuk diajar agama, walaupun mereka sendiri tidak begitu religius. Ini periode ketiga dimana masjid dipenuhi oleh anak-anak kecil, cucu-cucu kami, yang belajar Islam. Alhamdulillah. Walaupun kalau aku lihat, ini sebenarnya hasil dari doa dan amal orang tua kita dulu juga”.


Pak Farid kemudian bercerita tentang kisah Nabi Khidr dan Nabi Musa yang dia dengar semasa kecil dulu. Kisah dimana mereka membangun kembali dinding rumah yang hampir roboh milik dua anak yatim. Rupanya Allah ingin melindungi harta karun warisan orang tua kedua anak yatim itu yang tersembunyi di bawah rumah, sampai saat kedua anak itu dewasa. Allah menjaga mereka disebabkan orang tua kedua anak yatim itu adalah orang yang saleh. Padahal jarak antara kedua anak yatim dan orang tua yang saleh itu ada selisih beberapa generasi. Jadi “orang tua” dalam kisah itu sebenarnya adalah kakek-nenek leluhur mereka, bukan orang tuanya langsung. Betapa Allah selalu menjaga orang yang saleh dan keturunannya bahkan sampai beberapa generasi dibawahnya.

Aku mengangguk tanda setuju. Dalam hati aku mengagumi analisanya tentang tiga periodesasi tadi. Juga kisahnya perihal doa dan amal orang tua yang saleh. Ah, rupanya masih terlihat kecerdasan masa muda beliau. Tanpa sadar akupun tersenyum.


“Ada yang lucu, Bung Ahmad?”, tanyanya heran. Rupanya dia memperhatikanku sejak tadi.


“Hah? Ah, tidak.. tidak ada apa-apa”, jawabku agak gelagapan. Wajahku rasanya agak bersemu merah tersebab malu.


“Ehm… kalau boleh tahu, Pak Farid sedang menunggu siapa tadi, Pak Bimo?”, tanyaku berusaha mengalihkan perhatian.


“Ah iya, Pak Bimo, kemana ya kok belum datang juga”, katanya seraya melirik jam tangan.


***

Kehidupan Pak Farid sebenarnya sudah mapan, tapi ada sejumput galau yang terus mengetuk lubuk hatinya. Awalnya, ketika masih muda, dia masih bisa meredam rasa itu. Mungkin terbantu juga oleh kesibukan kerja dan rumah tangganya. Kini di usia senja, ketika tidak ada lagi kesibukan kerja dan keluarga, perasaan itu menjadi sulit dibendung. Dihatinya laksana ada lubang dalam yang tidak bisa lagi ditimbun dan ditutupi dengan apapun kegembiraan dan kesenangan hidup disini. Kegalauan itu sekarang membesar menuntut jawaban dan pemenuhan.


“Aku ini sedang homesick berat, bung Ahmad. Dulu aku kira bisa melupakan kampung halaman, apalagi saat itu kewarganegaraanku juga dicabut paksa. Mungkin ada benarnya pepatah lama kita, ‘hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri, baik jua di negeri sendiri.’ Sebaik-baik negeri orang tidak sebaik negeri sendiri. Kalau kata orang sini, ‘you can take the man out of the country, but you can't take the country out of the man’”, tuturnya menjelaskan.

Entah kenapa kali ini gurat-gurat usia tuanya mulai tampak, seakan mengiringi wisdom dari kata-katanya tadi. Mungkin itu hanya perasaanku saja.


“Bung, aku ingin melihat kampung halamanku sekali saja sebelum aku mati. Aku ingin nyekar ke makam bapak dan ibu, mau nyuwun pangapuro, minta maaf dulu tidak bisa menemani mereka dikala mereka senja usia. Aku ingin dikubur di samping makam mereka”, matanya kembali berkaca-kaca. Aku pun tertunduk menahan haru.


Tiba-tiba Pak Farid mendongak, wajahnya jadi sumringah. Aku menoleh sejurus ke arah pandangannya. Terlihat

seseorang datang mendatangi kami.


“Itu Pak Bimo. Dia orang konsulat yang akan membantuku mengurus surat-surat agar aku bisa kembali pulang,” jelasnya sebelum aku sempat bertanya.


Lokasi taman itu memang tidak jauh dari kantor KJRI New York. Setelah era reformasi, pemerintah akhirnya memperbolehkan orang-orang seperti Pak Farid untuk bisa kembali pulang tanpa ancaman.


Pak Farid mengambil saputangan dan mulai mengusap matanya yang membasah sebab gembira. Dan kemudian memperbaiki kembali posisi duduknya. Dia seakan ingin memberiku sebuah sinyal. Baiklah. Akupun mengangguk dan bergegas minta izin untuk pamit seraya mendoakan agar Allah mengabulkan keinginannya. Banyak sebenarnya yang ingin aku gali dari kisah hidupnya, tapi aku tidak ingin mengganggu kegembiraannya saat itu.


Berpuluh tahun sudah lelaki tua itu berkelana mengarungi zaman

Tegar membawa mimpi ditengah ombak gelombang kehidupan

Walau hati tersayat rindu ingin pulang ke kampung halaman

Sampai akhirnya harapan itupun datang, di ujung penantian.



Disclaimer: Cerita ini hanyalah fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun alur cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.





23 tampilan0 komentar

Comments


bottom of page