Bangsa kita akan merayakan hari kemerdekaan ke 77. Angka 7 ini termasuk istimewa dimana Allah banyak menyebutkannya dalam Al-Qur’an, semisal dalam “7 lapis langit” dan “7 ayat yang dibaca berulang.” Dalam kaidah tafsir, angka 7 juga melambangkan jumlah yang banyak. Seperti itulah kiranya kita perlu memaknai kemerdekaan kita ini, sebagai sebuah hadiah istimewa dari Allah kepada bangsa kita, Indonesia. Bangsa yang kaya akan banyaknya suku, beragamnya budaya, dan melimpahnya sumber daya. Kemerdekaan sebagai karunia Allah ini disadari penuh oleh para bapak bangsa kita, _our founding fathers._ Mereka abadikan dengan kalimat _“Atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa”_ dalam mukadimah konstitusi negara yang mereka susun. Pengakuan ini sekaligus menunjukkan kuatnya nilai-nilai religius dalam diri bangsa kita.
Memang demikianlah adanya. Keberagaman _(diversity)_ dan keberagamaan _(religiousity)_ merupakan karakteristik bangsa kita sejak dahulu. Terbiasa dalam kondisi yang beragam ini menumbuhkan sikap toleran _(tasamuh)_ dalam perbedaan, musyawarah untuk mencari mufakat _(consensus seeker)_ dalam persamaan, dan gotong royong dalam kehidupan. Kita landasi dengan rasa hormat kepada para pinisepuh (orang tua, guru, dan alim ulama) disertai sikap takzim pada tutur kata mereka. Ajaran Islam yang dianut mayoritas bangsa kita kemudian membuat nilai-nilai luhur tersebut menjadi sakral. Maka berpadulah dua unsur itu, ke-Indonesia-an dan ke-Islam-an, dalam DNA bangsa kita. Nilai-nilai luhur bangsa menjadi berjalin berkelindan dengan nilai-nilai Islam yang universal. Inilah identitas orang Indonesia yang dikenal luas masyarakat dunia.
Mari kita berhenti sejenak. Bukankah kehidupan kita di Amerika ini merupakan ekstensi dari keberagaman itu? Disini kita tidak lagi dan tidak saja berinteraksi dengan sesama anak bangsa yang berbeda suku. Disini kita berinteraksi dengan sesama anak manusia yang berbeda bangsa dan budaya. Dalam _melting pot_ kebudayaan inilah nilai-nilai luhur bangsa kita tadi (semisal toleransi, musyawarah mufakat, gotong royong, dan hormat pada pinisepuh) rasanya perlu kita bangkitkan _(revive)_ dan perbaharui _(rejuvenate)_ kembali. Bahkan boleh jadi bisa kita tawarkan sebagai bentuk sumbangsih kita pada peradaban dunia. Bukankah karena sebab nilai-nilai inilah kita dikenal mereka?
Tapi disini kita juga berhadapan dengan realitas budaya Amerika yang modern dan egaliter dalam balutan kebebasan individu yang kuat. Tanah rantau Amerika tidak saja menawarkan kesempatan tapi juga tantangan. Memang ada banyak nilai-nilai baik yang bisa kita ambil laksana mutiara terserak diantara limbah budaya. Tapi jauh di lubuk hati ada kekhawatiran jikalau nilai-nilai luhur penanda jati diri kita ini perlahan akan hilang tergerus zaman, terlebih pada anak cucu kita. Boleh jadi generasi mereka akan mengingatnya dalam frasa lampau. Sebagai kenangan sejarah dengan orang tua mereka. Maka tantangan kita kedepan adalah bagaimana mengaplikasikan nilai-nilai luhur tersebut dan mewariskannya ke generasi selanjutnya.
Kita sadari kalau kita tidak bisa bekerja sendiri dalam menjawab tantangan itu. Terlebih falsafah luhur “gotong royong” mengajarkan kita untuk bekerja sama dalam suatu komunitas. Kemudian falsafah Islam mengajarkan kita untuk bekerja secara profesional dalam barisan yang teratur seperti bangunan yang tersusun kokoh. Maka komunitas kita ini perlu dikelola secara profesional dalam wadah organisasi agar tidak sekedar menjadi perkumpulan belaka. Sebuah organisasi komunitas muslim Indonesia _(Indonesian Muslim Society)_ yang bertujuan untuk mengaplikasikan dan mewariskan nilai-nilai luhur bangsa kita dalam balutan universalitas Islam di _Amerika._ Semoga *IMSA* menjadi salah satunya.
New York, Agustus 2022
Budi Setiadi
_IMSA Outreach Director_
Comments