top of page
Post: Blog2_Post

Nikmat Allah

Juara 2 Naskah Lomba Menulis (Category 15yo and up): Sarah Khairunnisa


Lahir dan besar di Bandung sampai lulus SMA, dulu saya merasa dasar agama Islam saya cukup kuat untuk menghadang budaya barat. Maka dengan mantap, saya pun menerima tawaran Ayah untuk berkuliah di Amerika.


“Talia si Anak Alim,” panggil teman-teman, karena saya memiliki banyak teman, aktif bersosialisasi di kegiatan mahasiswa, namun tidak pernah ikut-ikutan clubbing, pergi ke rave, mabuk-mabukan, merokok, memakai ganja, atau sebagainya. Dan saya sangat bangga akan hal itu. Namun ternyata yang namanya iman ketika tidak dikasih makan, lama-lama redup sendiri. Itulah yang saya rasakan di satu tahun terakhir masa kuliah saya.


Di titik itu, saya merasa ada di tengah-tengah. Nakal tidak, tapi jadi orang Islam yang baik dan benar juga tidak. Dari luar mungkin saya terlihat ceria dan aktif, namun seringkali saya termenung sendirian. Mengapa hati saya merasa kosong dan kebal? Hidup rasanya hampa dan tawar. Orangtua? Alhamdulillah keduanya masih ada dan sehat. Rumah, sekolah, teman, mobil, kerja sambilan, semuanya berkualitas. Namun mengapa saya tidak dapat nikmat-Nya? Shalat dan baca Quran pun rasanya tidak ada isinya. Ada yang salah pada diri saya, namun saya tidak tahu apa, dan bagaimana cara menanganinya. Untuk waktu yang cukup lama, hati saya rasanya tidak nyaman dan karuan.


Seakan tahu apa yang anaknya butuhkan, suatu malam Mama menelepon saya. Saat itu beliau sedang ada di Bandung. Ditengah-tengah percakapan, beliau bertanya, “Talia mau nggak, kalau Mama masukkan ke pesantren di Bandung? Satu bulan aja kok. Mama rasa kamu perlu, deh. Kamu di Amrik gak dapet lingkungan Islami, soalnya.”


Reaksi saya saat itu: SEBULAN? Buset, lama amat! Apalagi, ternyata para santriawan dan santriwati tidak diperbolehkan memakai handphone selama sebulan. Mulut rasanya ingin bilang, “Mama bayar Talia seratus ribu dollar juga Talia gak akan mau kalau gak boleh pegang HP selama sebulan!” Tapi entah kenapa, tanpa pikir panjang, saya malah menjawab, “Mau, Ma.”


Singkat cerita, selama Pesantren saya mendapat banyak momen yang memang mencerahkan hati dan kalbu. Mampu menangis selagi shalat berjamaah di mesjid atau shalat sendiri di malam hari memang tidak ada harganya. Dengan perlahan, kekosongan di hati saya mulai terisi.


Masuklah kami ke pelajaran fiqih dan membahas tentang kerudung. Tentu saja, para Ustadz dan Ustadzah banyak mendorong santriwati untuk terus memakai kerudung bahkan nanti ketika program ini selesai. Saya lalu berfikir, kalau saya memilih untuk memakai kerudung, saya pasti akan kehilangan banyak teman. Belum lagi, saya merasa saya akan sulit mencari pekerjaan karena selain saya baru lulus kuliah, Muslim adalah grup minoritas di Amerika Serikat. Bagaimana perihal jodoh? Kalau saya pakai kerudung, saya akan lebih sulit lagi mencari jodoh. Terakhir, bagaimana dengan ancaman-ancaman para Islamophobia yang semakin hari semakin marak? Saya tidak akan pernah merasa aman untuk memakai kerudung di luar rumah.


Maka malam itu juga saya putuskan: “Tidak. Saya tidak mau pakai kerudung. Pakai baju panjang tertutup saja sudah lebih dari cukup untuk saat ini. Kan, toh, kata Allah kita boleh melakukan apapun demi keselamatan diri kita sendiri. Ya, kan?” Hati merasa ragu, tetapi pikiran saya mantap atas keputusan saya. Saya berfikir, saya hanya tinggal harus meyakinkan diri bahwa ini adalah keputusan yang tepat.


Beberapa hari pun berlalu. Pada satu kelas Fiqih berikutnya, pak Ustadz dan para santriwati diberi waktu untuk bertanya dan berdiskusi. Kami berdiskusi santai tentang banyak hal. Dari tentang apa saja yang boleh dipakai untuk membersihkan diri setelah buang air kecil dan besar, sampai akhirnya kami membahas tentang kerudung lagi. Saya pun mendapati diri mengacungkan tangan dan bertanya,


“Pak, kalau misalnya kita hidup di lingkungan dimana Islam diperlakukan sebagai terror—dimana orang berkerudung bisa ditembak atau ditusuk begitu saja tanpa alasan, apakah kita masih tetap harus pakai kerudung? Kan kalau sudah begitu tidak aman lagi.”


Pak Ustadz terdiam sebentar, lalu bertanya kepada saya, “Siapa yang menyuruh kamu menutup aurat dan memakai kerudung?”


Saya sempat bingung atas pertanyaannya. “Eh, siapa…ya. Allah, kan?” jawab saya ragu.


Beliau lalu mengangguk mantap dan berkata, “Kalau begitu, cukuplah Allah sebagai Penjamin.”


Jawaban yang sangat sederhana itu terasa ringan namun juga sangat berbobot. Namun saat itu, jawaban dari pak Ustadz masih belum cukup untuk merubah keputusan saya, bahwa saya harus memprioritaskan keselamatan saya sendiri!


Hari terakhir di Pesantren, saya dijemput Mama, dan kakak perempuan. Saya peluk Mama dalam-dalam, dan meminta maaf dengan khusyuk atas semua kesalahan yang pernah saya lakukan, berterima kasih untuk semua yang Mama dan Papa telah berikan untuk saya. Saya juga berterima kasih sedalam-dalamnya karena beliau sudah menawarkan saya untuk mengikuti program pesantren ini.


Satu hal aneh pun terjadi. Di perjalanan pulang ke rumah, saya melirik ke arah kaca spion, dan mendapati diri saya yang masih memakai kerudung. Lalu dengan ringannya saya bilang kepada Mama, “Mom. Aku mau terus pake kerudung, ah.” Mama dan kakak langsung mengucap syukur. Aku bisa merasakan kesenangan Mama dari senyumnya yang sangat lebar.


Yang saya sebut aneh adalah, bahwa tidak ada keraguan sedikitpun di hati untuk memakai kerudung meski saya tidak punya kerudung satupun, dan tidak punya banyak baju panjang. Saya juga tidak lagi merasa takut oleh konsekuensi-konsekuensi yang mungkin harus saya hadapi nanti. Pokoknya saat itu yang saya yakini adalah, saya mau lanjut pakai kerudung. Titik. Kalau Allah mau saya pakai kerudung, saya pakai. Dan alasan itu cukup bagi saya. Kedepannya gimana, kita hadapi satu persatu nanti.


Program pesantren selesai Oktober 2017. Saya kembali ke Washington, Amerika, Desember 2017. Prasangka yang dahulu saya takuti ternyata tidak ada satu pun yang terjadi. Maksudnya setelah memakai kerudung, memang banyak perubahan dihidup saya. Namun, hidup tidak berubah menjadi lebih buruk, melainkan menjadi jauh lebih baik.


Misalnya, ada beberapa teman yang jadi segan, sehingga enggan bertegur sapa dengan saya lagi—entah apa alasannya. Hilang teman? Tidak. Menurut saya, justru saya jadi tahu mana yang benar-benar teman dan mana yang bukan.


Contoh lainnya, dihari pertama saya kembali bekerja sambilan dan memakai kerudung, atasan dan teman-teman kerja saya menyambut saya dengan ceria dan hangat. Ada yang memuji, dan ada pula yang bertanya, “Apakah dengan memakai kerudung artinya kamu sudah menikah?” atau, “Apakah kamu masih mempunyai rambut?” Pertanyaan-pertanyaan polos yang tentunya saya jawab dengan senang hati.


Tidak hanya itu, tiga bulan kemudian saya mendapat pekerjaan full-time kantoran di perusahaan yang baik dan mendapat atasan yang sangat baik juga. Beliau masih menjadi teman dekat saya sampai sekarang meski saya sudah tidak lagi bekerja disana.


Namun menurut saya dari itu semua, hadiah terbaik dari Allah adalah, ketika Dia mempertemukan saya dengan suami saya tiga bulan setelah saya mendapat pekerjaan baru tersebut.


Hadist yang berbunyi, “Jika seorang hamba mendekati-Ku sejengkal, niscaya Aku mendekatinya satu hasta” adalah benar dan saya alami sendiri. Mungkin saya beruntung, tapi kalaupun saya tidak mendapatkan itu semua, paling tidak saya merasa sangat bersukur karena Allah sudah membalikkan hati saya agar dapat merasa dan mampu bersyukur lagi kepada-Nya sehingga akhirnya saya dapat menikmati Nikmat-Nya.


Allah Maha Baik. Allah Maha Baik. Allah Maha Baik.



83 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page